Oleh: T.A. Sakti
Haji Rosihan Anwar bukan hanya terkenal dengan julukan “wartawan tiga zaman”, tetapi beliau diakui pula sebagai budayawan, sastrawan dan juga sejarawan. Tulisannya mengenai sejarah dapat kita baca dalam sejumlah buku, baik yang khusus sejarah maupun yang bersifat “bunga rampai” serta dalam berbagai majalah dan media koran lainnya.
Salah satu tulisan beliau yang telah saya simpan lebih 30 tahun adalah sebuah kliping koran Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta tertanggal 15 Maret 1988 halaman “Opini” dengan judul “Kerajaan Islam Samudera-Pasai di TVRI” Mengapa saya begitu setia menyimpan ‘koran bekas’ yang bahkan sudah berbau lumpur tsunami Aceh ini?. Alasannya tak lain, hanya karena amat sedikit saya menjumpai para pengarang di Indonesia yang mengaitkan sejarah Wali Songo di Jawa dengan asal-usul mereka di Aceh, tepatnya dari Kesultanan Samudea-Pasai.
Diantara sedikit penulis Indonesia yang berbuat demikian adalah Prof,Dr. Hamka, Solichin Salam, H.M. Zainuddin, Prof.A.Hasjmy, dan H.Rosihan Anwar sendiri. Sementara sebagian penulis Indonesia yang lain, samasekali tidak menyebut lagi Kesultanan Samudra-Pasai, ketika mereka meriwayatkan kehidupan Walisongo yang kesemua kubur beliau berada di pulau Jawa itu.
Dengan telah meninggalnya H. Rosihan Anwar di Jakarta, 14 April 2011 yang lalu (baca: ”Wartawan’Catatan Kaki Sejarah’ Itu Telah Tiada”, Serambi Indonesia, Jum’at, 15 April 2011 halaman 1), maka sejauh yang saya maklumi telah “habislah” para penulis sejarah Islam Indonesia yang ‘menghubungkan’ sejarah Walisongo di Jawa dengan asal-usul mereka dari Kesultanan Samudra Pasai – karena Prof.Dr. Hamka, H.M. Zainuddin, Prof.A.Hasjmy dan Solichin Salam telah duluan meninggal dunia -. Dengan demikian “putuslah jaringan sejarah” penyebaran Islam antara Aceh dengan Jawa.
Padahal sejak lama jalinan sejarah itu memang suatu fakta sejarah yang tidak diperdebatkan lagi tentang kesahihannya. Hampir semua kitab babad, serat yang ada di Jawa mengisahkannya. Begitu pula dengan cerita rakyat di Jawa seperti ketoprak, termasuk “ketoprak humor” yang pernah disiarkan RCTI beberapa tahun lalu juga menceritakannya.
Prof.Dr. Hamka dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Melayu dan dicetak di Singapura menyebutkan, “banyaklah putera Pasai meningggalkan kampung halamannya, terutama sejak dua kali serangan yang menyedihkan, pertama dari Siam, kedua dari Majapahit. Dan akhirnya di tahun 1521 diserang pula oleh Portugis. Kerajaan Majapahit yang keras mempertahankan kehinduannya itu, sehingga menyebabkan negeri Pasai terpaksa mengakui takluk ke bawah naungannya, menyebabkan beberapa anak Pasai pergi merantau ke tanah Jawa sendiri, terutama ke Jawa Timur dan menetap di sana. Jika negerinya sendiri telah terbakar, dibakar oleh suatu kekuasaan besar, anak Pasai itu telah pergi ke hulu kekuasaan itu, ke daerah kekuasaan Majapahit sendiri dan mengembangkan pula cita-citanya di sana. Dengan suatu ajaran rohani yang murni, Majapahit telah mereka perangi pula, bukan dengan senjata. Apa yang mereka tanamkan itulah kelaknya yang akan besar dan kukuh, menjelma menjadi Kerajaan Islam Demak.
Seorang di antara anak Pasai itu ialah Falatehan, atau Fatahillah, atau bernama juga Syarif Hidayatullah, datang ke Jawa sebab negerinya diserang Portugis (1521). Mulanya menjadi panglima perang dari Kerajaan Islam Demak untuk menaklukkan Jawa Barat, Kerajaan Galoh dan Pajajaran, dan akhirnya menjadi pendiri dari pada dua Kerajaan Islam sesudah Demak, iaitu Bantam dan Cirebon” (baca: buku karya Prof.Dr. Hamka yang sudah diterjemahkan ke bahasa Melayu, “Sejarah Umat Islam”, edisi baru, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 2005 halaman 708 – 709)
Masih dalam buku yang sama, pada halaman 745 Prof.Dr. Hamka melanjutkan lagi: ”Tersebut perkataan, bahwasanya raja negeri Campa itu beranak dua orang perempuan. Yang tertua bernama Darawati diambil isteri oleh Angkawijaya Raja Majapahit. Itulah yang lebih terkenal dengan sebutan Puteri Campa itu. Dan anak perempuannya yang seorang lagi kawin pula dengan seorang penyair Islam dari Tanah Arab, maka mendapatlah putera Raden Rahmat.
Kalau benar bahwa Campa itu bukan yang di Annam Indo-China, tetapi di Aceh, iaitu negeri Jeumpa, sudah tidak pelak lagi bahwasanya Raden Rahmat, adalah keturunan Arab datang dari Aceh.
Dikirimlah Raden Rahmat itu oleh nenek Raja Campa (Jeumpa) ke tanah Jawa dan singgah dua bulan di Palembang, Lalu diajaknya Aria Damar; Adipati Majapahit memeluk Islam. Aria Damar memeluk Islam dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian Raden Rahmat meneruskan perjalanan ke Jawa”.
Solichin Salam, dalam bukunya “Sekitar Wali Sanga”, Penerbit Menara Kudus, Semarang, 1974, juga mengakui bahwa sebagian wali itu punya asal-usul dari Kerajaan Samudera-Pasai. Penulis lain, Umar Hasyim, dalam bukunya “Sunan Giri”, Penerbit Menara Kudus, Semarang, 1979 di halaman 21 menyebutkan: ”Maulana Ishak diberi tugas oleh Zawiyah Cot Kala untuk menyebarkan Islam ke Jawa. Beliau kawin dengan salah seorang puteri Blambangan. Dari perkawinan itu beliau dikaruniai seorang putera yang bernama Raden Paku yang kemudian bergelar Sunan Giri”.
Kalau merujuk kepada pendapat- para pengarang tersebut di atas serta beberapa tulisan lepas lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa enam orang dari sembilan wali (wali songo) yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa adalah berasal dari Aceh. Beliau-beliau itu adalah: .1. Maulana Malik Ibrahim, 2. Malik Ishak (Sunan Giri), 3. Ali Rahmatullah/Raden Rahmat (Sunan Ampel), 4. Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang), 5. Masaih Munad (Sunan Drajat), dan 6. Syarief Hidayatullah/Fatahillah (Sunan Gunung Jati).
Beberapa sumber menyebutkan, bahwa pada masa Kesultanan Samudra-Pasai di bawah pemerintahan Sultan Zainal Abidin Bahian Syah (± 797 H/1395 M), sebuah Tim Dakwah Islam yang dipimpin Maulana Malik Ibrahim telah dikirimnya ke pulau Jawa.
H. Rosihan Anwar juga berpendapat demikian. Pada peringantan Hari Israk Mikraj tahun 1988, H. Rosihan Anwar menjelaskan lewat TVRI-Jakarta dan beberapa suratkabar antara lain sebagai berikut: “Masuknya Islam ke Jawa adalah karena usaha juru dakwah dari Pasai. Dari sembilan wali (wali songo) yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke 14, ke 15 dan ke-16 Masehi, maka empat wali berasal dari Samudra Pasai, yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Drajat dan Sunan Bonang. Wali pertama adalah Malik Ibrahim yang wafat dan dimakamkan di Gresik tahun 1419; beliau seorang saudagar Persia, berasal dari Gujarat, India.
Akan tetapi wali kedua yang muncul pada pertengahan abad ke-15 bernama Sunan Ampel atau Raden Rahmat, yang makamnya terdapat di Kampung Arab di Surabaya, berasal dari Pasai. Beliau wafat kira-kira tahun 1481. Kedua putranya, yaitu Sunan Drajat dan Sunan Bonang yang kemudian bermukim di Tuban dan juga menjadi wali, pun berasal dari Pasai.
Terakhir dari wali songo adalah Sunan Gunung Jati, juga dikenal sebagai Fatahillah atau Falatehan, lahir di Basma, Pasai tahun 1490. Setelah menjadi wakil kerajaan Demak di Banten, Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon pada tahun 1552, beliau wafat tahun 1570.
Orang sedikit sekali menyadarinya, tetapi memang demikianlah faktanya, bahwa 4 (empat) dari 9 (sembilan) wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa berasal dari Samudra Pasai”. Demikianlah pendapat H. Rosihan Anwar tentang asal-usul Walisongo (Lihat : “Kerajaan Islam Samudra Pasai di TVRI” oleh: H. Rosihan Anwar, Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 15 Maret 1988 halaman 4/Opini).
Dewasa ini, sudah semakin langka para penulis sejarah Islam di Indonesia yang menghubungkan kisah Walisongo dengan negeri Samudra-Pasai di Aceh. Menurut kebanyakan penulis “sejarah” sekarang, agama Islam yang menyebar ke seluruh Nusantara bukanlah mulai bergerak dari Aceh, melainkan dari Kerajaan Campa ( di negara Kamboja – sekarang). Oleh hal demikian, maka hilanglah “jaringan Aceh” sebagai tempat mula bertapaknya Islam di Indonesia seperti yang diyakini selama ini. Menurut pengarang tempo dulu, negeri Campa adalah Kerajaan Jeumpa yang terletak di wilayah Bireuen, di Aceh sekarang; bukan kerajaan Campa yang terdapat di negara Kamboja (baca: ”TV Malaysia Telusuri Jejak Campa di Aceh”, Serambi Indonesia, Jum’at, 15 April 2011 halaman 10/Nasional). Sejarah Kerajaan Jeumpa, memang belum begitu jelas sosoknya hingga hari ini. Sebagai seorang anak, dulu yang pernah saya dengar hanya Hikayat Putroe Jeumpa ( Hikayat Putri Jeumpa) yang diperebutkan oleh raja Cina, tetapi gagal. Membaca ucapan C atau J dalam huruf Arab Melayu/Jawi atau Jawoe, yaitu Jim, memang nyaris tak ada beda, sehingga boleh saja orang membaca Kerajaan Campa, kalau dalam bahasa Melayu/Indonesia atau Jeumpa, bila dalam bahasa Aceh.
Sebuah buku terbaru tentang Walisongo, yang berjudul “Sejarah Walisongo – Misi Pengislaman di Tanah Jawa” penerbit Graha Pustaka, Yogyakarta, dapat menjadi bukti ‘terbaru’ pula bagi kita, bahwa para penulis kisah Walisongo dewasa ini samasekali tidak menyinggung lagi Kesultanan Samudra-Pasai; ketika mereka mengisahkan riwayat Walisongo. Buku ini ditulis oleh Budiono Hadi Sutrisno, seorang sarjana lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip)- UGM Yogyakarta yang amat produktif menulis berbagai buku. Ternyata buku “sejarah Walisongo” ini menjadi buku ‘best seller’/ laku-keras yang mulai diterbitkan tahun 2007, namun sudah mengalami cetakan ke 9 pada Januari 2010. Dalam buku ini juga tidak sekali pun menyebut Kesultanan Samudra-Pasai sebagai tempat asal sebagian Walisongo.
Sebuah buku lain yang telah lama beredar, cetakan ke-4 terbitan Bandung (1996) “Seri Wali Songo” yang ditulis Arman Arroisi juga berpendapat serupa mengenai asal-usul wali songo. Karena buku ini ditulis berseri, maka setiap orang wali ditulis dalam sebuah buku khusus/tersendiri dengan buku berbentuk lebar dengan huruf dan illustrasi gambar yang besar-besar. Pada buku yang dikhususkan kepada anak-anak ini, Sunan Ampel disebutkan berasal dari negeri Campa di Kamboja. Singkat kata, baik buku bacaan anak-anak maupun buku bacaan orang dewasa yang menyangkut kisah Wali Songo dewasa ini; semuanya telah ‘memberi talak tiga’ kepada Kesultanan Samudra-Pasai.
Padahal dalam buku “Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa”, Grafiti Pers, Jakarta, 1986, menyebutkan Sunan Ampel berasal dari Aceh. Buku yang semula berbahasa Belanda dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia; ditulis oleh dua sejarawan Belanda, DR. H. J. De Graaf dan DR. TH. G. TH. Pigeaud.
Mengenai asal-usul Sunan Ampel dari Campa, kedua sejarawan Belanda ini tidak menganggap negeri Campa yang berada di negara Kamboja, tetapi negeri Jeumpa yang terletak di wilayah Bireuen sekarang. Begitulah ‘arus sejarah’ yang berkembang sekarang, bahwa sejarah Kerajaan Samudra-Pasai “semakin tenggelam” dari jalur riwayat Walisongo di Tanah Jawa.
Sebelum masalah asal-usul Wali Songo dari Aceh semakin gelap, alangkah baiknya digerakkan suatu upaya untuk menelusuri kembali sejarah wali-wali itu mulai dari Aceh sampai ke pulau Jawa. Sebagai langkah awal saya mengajukan beberapa saran.
Pertama, agar dilakukan cetak ulang semua buku yang pernah mengaitkan sejarah Waisongo dengan negeri asal mereka; Kesultanan Samudra-Pasai seperti buku-buku karya Prof.Dr. Hamka, Solichin Salam, H.M. Zainuddin, Prof. A,Hasjmy, Rosihan Anwar dan lain-lain.
Kedua, buku-buku hasil cetakan itu perlu disebarkan ke berbagai Perpustakaan sekolah dan pustaka umum.
Ketiga, mendesak pihak berwenang buat mengadakankan Seminar Internasional tentang Sejarah Walisongo, yang dilangsungkan di Banda Aceh. Keempat, memproduksi Film dokumenter/sinetron mengenai kisah profil Walisongo, yang isinya mengandung asal mula kehidupan sang wali di Kerajaan Samudra-Pasai.
Pihak mana yang paling bertanggung jawab bagi terwujudnya semua saran tadi!?.
Menurut saya banyak pihak yang wajib melestarikan sejarah Islam di Indonesia, yaitu:
1. Pemerintah Negara Republik Indonesia.
Betapa tidak! Sejarah penyebaran Islam di Nusantara yang bermula di Aceh lantas berkembang ke seluruh persada tanah air Indonesia- bahkan kesegenap wilayah Asia Tenggara – merupakan “benang merah” yang amat kuat yang telah merajut persatuan nasional Indonesia, akibat persamaan sejarahnya. Bila benang merah ini ‘putus’, maka terganggulah persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai sebuah bangsa besar, pemerintah kita jangan mengharapkan bangsa lain yang akan melestarikan sejarah kebangsaan kita. Misalnya, buku “Sejarah Umat Islam” karya Prof.Dr.Hamka yang dicetak ulang di Singapura setelah diterjemahkan ke bahasa Melayu, merupakan sumbangan bangsa luar bagi pelestarian sejarah nasional kita. Begitu pula dengan usaha TV Malaysia yang sedang merekam jejak Sejarah Kerajaan Jeumpa/Campa di Aceh; termasuk pula hadiah bangsa serumpun/Melayu bagi memperteguh identitas bangsa kita.
Sebagai bangsa yang ‘malas bergerak’ kita jangan hanya pandai “demo dan mengomel”, bila saudara di negara jiran kita bertindak!. Kita tentu masih ingat, bahwa beberapa jenis kesenian dan benda budaya Indonesia; telah diklaim milik negara Malaysia!!!.
2. Pemerintah Aceh
Sejarah awal perkembangan Islam di Indonesia/Asia Tenggara dimulai dari Aceh. Hal ini bukanlah dongeng, tetapi fakta sejarah. Banyak pendakwah dari Aceh berangkat ke berbagai pulau di Nusantara buat menyiarkan agama Islam merupakan fakta sejarah pula. Namun, bila sekarang kesemua “jaringan sejarah Aceh” itu telah ‘diputuskan’ orang, tentu amat rugi bagi citra baik Aceh sebagai sumber awal berkembangnya Islam di Nusantara. Apalagi bagi Aceh yang kini sedang menampilkan diri sebagai negeri Syariat Islam, dengan hilangnya jejak-jejak Islam tadi, tentu bagaikan akar Syariat Islam di Aceh telah tercerabut/tercabut pula. Padahal di masa lalu Aceh terkenal dengan gelar ‘Negeri Serambi Mekkah” yang tentunya didukung berbagai fakta sejarah di masa silam.
3. Dunia Islam
Berbagai lembaga Islam di tingkat dunia, seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI), Rabithah Alam Islamy dan Lembaga Kebudayaan Islam lainnya wajib melestarikan kebudayaan Islam yang tersebar di seluruh dunia. Kini, yang diketahui umum hanya negara-negara atau lembaga non muslim yang telah berjasa melestarikan budaya Islam. Sementara negara-negara Islam yang kaya raya, sibuk menghabiskan dana buat bidang politik saja, khususnya biaya perang!
• Penulis, peminat bidang kewartawanan dan sejarah, tinggal di Banda Aceh.
Editor: portalsatu.com