Pelaksanaan Sayembara Himne Aceh Menyalahi Hukum

BANDA ACEH | AcehNews.net – Terkait pro dan kontra himne Aceh dan pelaksanaan sayembaranya yang tidak mengikuti prosedur hukum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang juga Ketua Presidium Balai Syura, Khairani Arifin, SH, M.Hum mengatakan, ada persoalan yang besar yaitu persoalan hukum yang juga harus diluruskan.

“Kalau kita baca UUPA, jelas disebut bahwa Himne Aceh ini dibuat dan ditentukan melalui qanun Aceh. Kemudian dalam pandangan yuridis, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), pada Pasal 248 ayat (3) dinyatakan bahwa, ketentuan tentang himne Aceh akan diatur dalam Qanun Aceh. Selain itu dalam Pasal 11, ayat (6) Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh juga menyebutkan bahwa, ketentuan tentang himne Aceh akan diatur dengan Qanun Aceh,” jelas Khairani kepada AcehNews.net, Jumat (12/01/2018).

Jelasnya lagi, merujuk pada kedua kebijakan tersebut, sampai saat ini Aceh belum mengatur ketentuan tentang himne Aceh dalam atau dengan Qanun Aceh, sehingga pengesahan himne Aceh secara yuridis tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

“Ini penting untuk memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang tersedia dalam penetapan himne Aceh, dan membuka ruang partisipasi secara luas kepada semua pihak yang ada di Aceh, dengan memperhatikan keberagaman suku, bahasa dan identitas keacehan yang ada di Aceh dalam proses penyusunan kebijakan terkait dengan himne dan kebijakan lainnya,” kata Khairani.

Sebaiknya kata Khairani, himne Aceh dihentikan dulu, kemudian dibuat dulu qanunnya, kemudian dibuat prosedur, proses dan sebagainya, setelah itu baru ditentukan mekanisme penentuan lagunya atau himnenya dengan sayembara atau bukan, itu harus ada prosedurnya dulu.

“Jadi tidak bisa dibuat sayembara dulu tanpa kebijakan dan dijadikan sebagai himne Aceh. Kan tidak ada yang menentukan kalau itu proses yang legal,” ucapnya..

Fungsi DPR, baik DPRA, DPRK atau DPR RI ada tiga yaitu fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Bagaimana mungkin lembaga yang memiliki fungsi seperti ini, kata Khairani melakukan sayembara dan tidak ada kebijakan yang menjadi panduan untuk melakukan itu. “Itu sangat aneh menurut kita prosedurnya,” ucapnya lagi.

Hal senada, secara terpisah beberapa waktu lalu, juga dikatakan Dosen FH Unsyiah Mawardi Ismail SH, M.Hum, di Banda Aceh, bahwa ada regulasi (qanun) lebih dulu, seharusnya pelaksanaan sayembara baru dilakukan.

“Pasal 11 ayat (6) Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013, juga menyatakan bahwa ketentuan tentang himne akan diatur dengan qanun. Bahkan pasal 27 qanun tersebut menyatakan sebelum qanun tentang himne disahkan, pengibaran bendera Aceh diiringi azan,” jelas pakar hukum senior Unsyiah Mawardi Ismail.

Mantan Dekan Fakultas Hukum Unsyiah ini juga mengatakan, sebenarnya sesuai dengan ketentuan pasal 248 ayat (2) UUPA, yang menetapkan himne Aceh adalah Pemerintah Aceh, bukan DPRA. Tugas DPRA adalah membuat regulasi berupa qanun sebagai pedoman.

“Pemerintah Aceh menurut pasal 1 ayat (6) UUPA adalah gubernur dan perangkat Aceh (eksekutif). Memang seharusnya pengaturannya berupa qanun, baik berdiri sendiri atau bersama dalam qanun lainnya. Nah keterlibatan DPRA terkait himne adalah dalam hal pengaturan (legislasi),” jelasnya.

Anggota Komisi I DPRA, Abdullah Saleh, SH pernyataannya pada berita yang dimuat di acehtrend.co terbit 26 Desember 2017 mengatakan, bahwa pelaksanaan sayembara himne Aceh sudah sesuai dengan aturan yang ada. Pun bila ada penolakan dari sejumlah pihak, kata Abdullah Aleh, itu hak dalam demokrasi.

Pada berita tersebut, Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRA itu juga menjelaskan, pelaksanaan sayembara himne sudah sesuai dengan aturan, amanah MoU Helsinki, dan UUPA.

“Itu amanah MoU Helsinki dan UUPA. Sudah sesuai dengan aturan. Kan harus ada himne dulu baru ada qanun. Seperti bendera dan lambang juga, kan harus ada produk baru ditetapkan,” demikian ujar Abdullah Saleh pada acehtrend.co, 26 Desember 2017 lalu. (Saniah LS)