(KANALACEH.COM) – Berbeda dari kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki keistimewaan sendiri. Sejak dulu hingga sekarang, Aceh merupakan daerah mayoritas muslim yang kini hidup dalam bingkai syariat Islam.
Alasan sejarah membuat daerah ini memiliki otonomi sendiri. Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara. Sejarah mencatat, sejak awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka.
Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511-1959). Kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009), dan terakhir Aceh (2009-sekarang). Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.
Sejak dulu, Aceh sudah sudah dikenal sebagai negeri yang melahirkan para wali dan ulama. Ada banyak ulama masyhur di Aceh yang kiprahnya sangat berpengaruh. Para ulama ini sangat dihormati karena dianggap berjasa dalam penyebaran Islam dan ilmu syariat.
Dari banyak ulama di Aceh, ternyata ada empat ulama besar yang sangat berpengaruh. Riwayat empat ulama ini bersumber dari Buku “Paham Wujudiah” karya Abuya Syeikh Prof Dr Tgk H Muhibbuddin Muhammad Waly yang dirangkum ‘Sejarah Aceh’. Berikut nama dan kisah singkat empat ulama masyhur tersebut:
Syeikh Hamzah Fansuri adalah tokoh sufi terkenal di Aceh. Beliau lahir di Fansur Singkil, Aceh. Beliau hidup pada zaman pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah IV (1589 -1604 atau 997-1011 Hijriyah) hingga awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam.
Beliau merantau untuk menuntut ilmu hingga ke Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Semenanjung Arab. Beliau ahli dalam ilmu fiqh, tasawuf, falsafah, sastra, mantiq, sejarah dan lain-lain, serta fasih berbahasa Arab, Urdu, Parsi di samping bahasa Melayu dan Jawa.
Syeikh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani merupakan dua tokoh sufi yang sepaham dan hidup lebih dahulu dari dua ulama terkemuka lainnya yang pernah hidup di Aceh, yakni Abdurrauf Singkil Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry.
Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada masa kesultanan Aceh Sultan Alaiddin Riayatsyah IV. Beliau menyebutkan Sultan Alaiddin selaku sultan yang ke-4 dengan Sayyid Mukammil sebagai gelarnya. Syahr Nawi mengisyaratkan beliau lahir di tanah Aceh. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri yakni ayah dari Abdurrauf Singkil Fansuri.
Ketika pengembaraannya selesai dari Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Makkah dan Madinah, untuk mencari ilmu makrifat terhadap Allah SWT. Ia kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya. Mula-mula ia berdiam di Barus, lalu di Banda Aceh yang kemudian ia mendirikan Dayah (pesantren) di Oboh Simpang Kanan Singkil. Di pesantren itulah (ada yang mengatakan antara Singkil dengan Rundeng) beliau dimakamkan tepatnya di sebuah pekuburan di desa itu.
Beliau adalah tokoh ulama besar dan pengarang di Aceh. Nama lengkapnya ialah Syeikh Syamsuddin bin Abdillah As-Sumatrani. Sering juga disebut Syamsuddin Pasee. Dia adalah ulama besar yang hidup di Aceh pada beberapa dasa warsa (sepuluh tahun) terakhir abad ke-16 dan tiga dasa warsa pertama abad ke-17.
Gurunya ialah Hamzah Fansuri dan pernah belajar dengan Pangeran Sunan Bonang di Jawa. Beliau menguasai bahasa Melayu-Jawa, Parsi dan Arab. Antara cabang ilmu yang dikuasainya ialah ilmu tasawuf, fiqh, sejarah, mantiq, tauhid, dan lain-lain.
Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah IV dan Sultan Iskandar Muda, beliau memegang jabatan yang tinggi dalam Kerajaan Kesultanan Aceh. Beliau dilantik sebagai penasehat kepada kedua sultan tersebut.
Beliau juga pernah diangkat menjadi qadi malikul adil yaitu satu jabatan yang terdiri dalam Kerajaan Aceh (orang yang kedua penting dalam kerajaan). Beliau mengetuai Balai Gading (balai khusus yang di anggotai oleh tujuh orang ulama dan delapan orang ulee balang), di samping menjadi Syekh pusat pengajaran Baiturrahman.
Sekalipun mengikut faham aliran tasawuf wahdatul wujud, namun beliau berlaku adil dalam menjalankan hukum-hukum yang difatwakannya. Keahliannya diakui oleh semua pihak termasuk Syeikh Nuruddin. Beliau meninggal dunia pada tahun 1630 M di zaman Sultan Iskandar Muda. Banyak karangan-karangan beliau dan fatwa-fatwa beliau. Di antaranya Syarah Ruba’i Fansuri (uraian terhadap puisi Hamzah Fansuri), dan lain-lain.
Beliau adalah seorang ulama besar fiqh dan tasawuf. Seorang pelaut Belanda bernama Frederick de Houtman (1599 M/1008 H) yang ditawan di Banda Aceh, menyebutkan dalam bukunya tentang Syamsuddin Sumatrani adalah seorang Syeikh, penasehat agung raja.
Nama lengkapnya ialah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniry Al Quraisyi Asy Syafi’ie. Ia wafat pada 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M di kota kelahirannya di kota pelabuhan Ranir (Rander) Gujarat India. Sayang, tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti.
Beliau seorang ulama besar, penulis, ahli fikir, dan Syekh Thariqat Rifa’iyyah di India yang merantau dan menetap di Aceh. Ia lahir sekitar pertengahan ke dua abad ke-16. Pendidikan awalnya dalam masalah keagamaan ia peroleh di tempat kelahirannya sendiri.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Tarim, Yaman. Tarim adalah pusat studi ilmu agama pada masa itu. Setelah menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi SAW pada 1621 M (1030 H), ia kembali ke India.
Setelah kembali ke India dan mengajar di samping sebagai Syekh Thariqat Rifa’iyyah ia merantau ke Nusantara dan memilih Aceh sebagai tempat menetap. Ia datang ke Aceh karena mengetahui Aceh menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan politik serta pusat studi agama Islam di kawasan Asia Tenggara menggantikan Melaka yang jatuh ke penguasaan Portugis.
Berkat kesungguhannya ia berhasil menjadi ulama besar yang berpengatahuan luas dan tercatat sebagai Syeikh Thariqat Rifa’iyyah dan bermazhab Syafi’i. Hubungan baik Syeikh Nuruddin dengan Sultan Iskandar Tsani di Aceh memberi peluang kepadanya untuk mengembangkan ajaran yang dibawanya.
Beliau pernah menentang faham wujudiyah yang berkembang di Aceh pada masa itu. Untuk menyanggah faham wujudiyah yang dinilainya sesat itu ia sengaja menulis beberapa kitab.
Al Quraisyi pada laqab namanya menunjukkan ia dari kabilah terhormat yaitu Quraisy. Beliau Ia berthariqat dengan thariqat Rifa’iyyah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara Beliau dengan Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Abdurrauf Al-Fansuri. Sebab, semaunya sama-sama pengikut thariqat suffiyah dan bermazhab Imam Syafi’i.
Beliau adalah salah satu dari empat ulama terkemuka yang pernah lahir di Aceh pada abad ke-17. Sedangkan tiga ulama lainnya adalah Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Sumatrani dan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry. Para ahli sejarah memperkirakan bahwa ia lahir sekitar 1615 M (1035 H) di Singkil yang terletak di ujung paling selatan pantai barat Aceh, sekampung dengan Syekh Hamzah Fansuri dan juga putera dari saudara Syeikh Hamzah Fansuri sendiri.
Ia tumbuh dan berkembang sebagai calon ulama di Aceh pada masa negeri itu sedang berada dalam puncak kejayaan di bawah pimpinan sultannya yang terbesar, Sultan Iskandar Muda.
Untuk memperdalam pengetahuan agamanya, ia berangkat ke Saudi Arabia sekitar tahun 1643 M (1064 H) pada saat negeri Aceh dipimpin oleh Sultanah Safiatuddin yang berada dalam kekacauan politik dan pertentangan paham keagamaan.
Syeikh Abdurrauf tidak segera langsung menuju Mekkah, tapi terlebih dahulu bermukim pada banyak tempat yang menjadi pusat-pusat pendidikan agama di sepanjang jalur perjalanan haji. Setelah beliau sampai di Mekkah dan Madinah beliau melengkapi ilmu lahir (ilmu Al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqh) yang telah dimilikinya dan dilengkapi pula dengan ilmu, yakni tasawuf dan thariqat.
Setelah belajar di Madinah pada Syeikh Thariqat Syatthariyah Ahmad Al Qusyasyi (wafat 1661 M/ 1082 H) dan kemudian pada khalifah atau penggantinya IbrahimAlqur’ani, beliau memperoleh ijazah dari pimpinan thariqat tersebut.
Banyak guru-guru besar yang memberikan ijazah ilmu pengetahuan kepada Beliau selama 19 tahun menuntut ilmu. Ketika pulang ke Aceh, Syeikh Abdurrauf menjadi ulama besar yang memiliki ilmu yang luas. Menurut perkiraan para ahli sekitar tahun 1662 M (1083 H), peranannya sebagai pengajar thariqat Syatthariah telah dimulainya di Madinah, menjelang pulang ke Aceh.
Beliau mengajar di Kuala atau Muara Krueng Aceh sampai wafat di daerah tersebut pada tahun 1693 M (1105 H). Karena mengajar dan wafat di Kuala Aceh ia kemudian dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Syiah Kuala.
Selain mengajar ia juga menjalankan tugasnya sebagai mufti kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641-1675 M). Banyak karangan beliau baik dalam ilmu tafsir dan kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan ilmu-ilmu lain. [Sindonews.com]
Komentar Facebook